Breaking News

Secangkir Kopi Hitam, Asap Kretek, dan Cinta pada Bumi Nusantara

Oleh: Feri Fadli Rizki
Dosen Ilmu Pemerintahan STISIP Banten Raya

Pagi akhir pekan selalu punya caranya sendiri menyapa kita. Langit bersih, udara tidak tergesa, dan waktu seakan lebih ramah untuk dinikmati perlahan. Di teras rumah, secangkir kopi hitam tanpa gula mengepul bersama sebatang rokok kretek yang membumbung wangi. Kita pun duduk, merenung, menyatu dengan suasana. Inilah momen sederhana yang tak ternilai: hidup riang dalam harmoni bumi Nusantara yang kaya.

Namun, di balik ketenangan pagi itu, bumi kita sedang terusik. Kekayaan Nusantara bukan sekadar alamnya, tapi juga kesadaran kolektif warganya yang mulai bangkit menjaga rumah bersama. Dari ujung barat hingga timur, dari pulau-pulau kecil hingga kota-kota besar, suara rakyat semakin nyaring menolak eksploitasi dan ketimpangan atas nama pembangunan.

Menikmati Hidup, Menjaga Tanah Air

Menikmati hidup bukan berarti abai terhadap sekitar. Justru, dengan menikmati hidup secara sadar—melalui ketenangan, kesederhanaan, dan rasa syukur—kita semakin peka bahwa bumi ini bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu.

Ketika masyarakat menolak pertambangan di Raja Ampat, mereka tak hanya sedang mempertahankan wilayah adat dan keindahan alam, tetapi sedang merawat warisan peradaban. Laut biru, karang yang megah, dan keanekaragaman hayati tak bisa digantikan dengan nikel dan emas. Di sanalah makna sejati pembangunan berkelanjutan: yang tak hanya mengejar pertumbuhan, tapi memastikan kehidupan tetap lestari.

Demikian pula dengan penolakan masyarakat Banten terhadap proyek reklamasi PIK II yang mengancam lingkungan pesisir, dan kemungkinan mengganggu keseimbangan ekologi kawasan utara Banten. Warga memahami bahwa pembangunan tanpa batas akan menyingkirkan mereka dari tanah sendiri, menjauhkan masyarakat dari laut yang selama ini menjadi sumber kehidupan.

Politik yang Berkiblat pada Rakyat

Kisah penolakan tokoh dan masyarakat Aceh terhadap pengalihan empat pulaunya ke Provinsi Sumatera Utara adalah bab penting tentang kedaulatan wilayah dan politik yang harus berbasis legitimasi rakyat. Kita menyaksikan bagaimana narasi cinta pada daerah tak boleh dikalahkan oleh kepentingan administratif. Aceh adalah wilayah istimewa dengan sejarah panjang, dan masyarakatnya tahu betul makna menjaga identitas mereka.

Di Riau, tokoh-tokoh Melayu dan berbagai organisasi masyarakat menggaungkan aspirasi agar Riau menjadi daerah istimewa. Ini bukan soal keistimewaan dalam kekuasaan semata, melainkan panggilan budaya, sejarah, dan kearifan lokal untuk dihormati dalam sistem pemerintahan nasional. Riau, sebagai salah satu pusat peradaban Melayu, ingin memastikan dirinya tidak terpinggirkan dalam pusaran politik ekonomi nasional yang kerap abai pada nilai-nilai lokal.

Ekonomi Hijau dan Pemerintahan yang Membumi

Sudah saatnya kita menggeser arah pembangunan dari ekonomi ekstraktif menjadi ekonomi hijau. Pemerintahan Indonesia harus melihat bahwa masa depan bukanlah pada eksploitasi sumber daya, tapi pada pengelolaan yang bijak dan partisipatif. Pemerintahan yang baik tidak semata-mata hadir lewat program dan proyek, tetapi melalui keberpihakan pada suara rakyat, pada alam, dan pada kehidupan berkelanjutan.

Kesadaran politik rakyat yang tumbuh akhir-akhir ini adalah sinyal bahwa demokrasi kita bukan hanya prosedural, tetapi substansial. Rakyat bukan hanya pemilih, tetapi penjaga bumi, penjaga konstitusi, dan penjaga moral bangsa.

Mengakhiri dengan Kebijaksanaan

Akhir pekan ini, secangkir kopi hitam dan sebatang kretek menjadi medium kontemplasi. Kita sadar bahwa hidup yang baik bukanlah tentang memiliki lebih banyak, tetapi merasakan lebih dalam. Merasakan tanah, laut, udara, dan segala yang telah diwariskan oleh leluhur kita sebagai berkah yang mesti dijaga, bukan dijual.

Di tengah derasnya kapitalisme global, kita masih punya harapan: rakyat yang terdidik, yang mencintai bumi, dan yang tidak diam ketika tanahnya hendak direbut. Indonesia butuh pemerintahan yang tak sekadar kuat secara birokrasi, tapi juga bijak dalam mendengar dan rendah hati dalam bertindak.

Karena, pada akhirnya, negeri ini bukan hanya soal kekuasaan, tapi tentang keberlangsungan hidup manusia dan alam yang satu.


Redaksi Banten Medsos menerima artikel opini ini sebagai bagian dari rubrik “Suara Kampus untuk Negeri”. Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis.

No comments