Breaking News

Air Mata Kemanusiaan di Perbatasan Rafah: Sebuah Renungan atas Nestapa Palestina dan Kebisuan Dunia

Oleh: Feri Fadli Rizki, Dosen Ilmu Pemerintahan STISIP Banten Raya

Sebuah video singkat, namun penuh makna, telah mengguncang nurani banyak orang. Terlihat seorang pria, perawat asal Wales, Inggris, menangis tersedu di perbatasan Rafah, Mesir. Ia berlutut di hadapan aparat keamanan Mesir, memohon agar diizinkan masuk ke Gaza, Palestina, untuk membantu anak-anak dan warga sipil yang menjadi korban dari genosida yang dilakukan oleh Israel.

Tangis dan teriakannya bukan hanya ekspresi duka seorang individu, tetapi jeritan hati manusia atas tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung tanpa akhir. Ia datang bukan sebagai warga negara mana pun, bukan pula sebagai pembela agama tertentu, melainkan sebagai manusia—yang hatinya tersayat menyaksikan penderitaan sesama.

Video ini telah menyentak kesadaran kita. Ia menunjukkan bahwa kemanusiaan tak mengenal batas negara, warna kulit, atau keyakinan. Dan justru karena itu, kita patut bertanya: di mana suara dunia? Mengapa kemarahan yang begitu tulus dari seorang perawat asing justru lebih menggugah dibanding kebijakan negara-negara besar dan para pemimpin dunia?

Kegagalan Dunia Arab dan Komunitas Global

Kita tak bisa memungkiri betapa melempemnya sikap negara-negara Arab terhadap tragedi Palestina. Di tengah slogan solidaritas dan persaudaraan yang kerap dikumandangkan, tidak banyak tindakan konkret yang terlihat. Bahkan akses kemanusiaan pun tak kunjung dibuka sepenuhnya. Retorika terus digulirkan, namun Gaza tetap berdarah, anak-anak tetap menangis kelaparan, dan bangunan-bangunan luluh lantak dihantam rudal.

Yang lebih menyakitkan, negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan sekutunya justru memberi dukungan terang-terangan kepada Israel, bahkan ketika kejahatan kemanusiaan terjadi di depan mata dunia. Puluhan ribu nyawa telah melayang, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, namun Dewan Keamanan PBB tetap lumpuh. Suara lantang untuk menghentikan agresi Israel dibungkam oleh hak veto yang dikuasai AS—menjadi perisai kebal hukum bagi penjajahan dan pembantaian.

Ini Bukan Soal Agama—Ini Soal Kemanusiaan

Penderitaan Palestina bukan hanya soal konflik politik atau sengketa agama. Ini adalah tragedi kemanusiaan terbesar abad ini. Ketika rumah sakit dibombardir, ketika anak-anak harus menjalani amputasi tanpa bius, ketika ibu-ibu mencari jasad keluarganya di puing-puing reruntuhan, maka tak ada alasan lagi bagi dunia untuk diam. Tak ada lagi tempat bagi sikap netral ketika yang terjadi adalah penjajahan brutal dan sistematis.

Video perawat asal Wales tersebut adalah simbol dari harapan. Harapan bahwa di tengah kepungan kezaliman dan keacuhan, masih ada hati nurani yang hidup. Masih ada mereka yang rela mengorbankan waktu, tenaga, bahkan nyawa demi menyelamatkan sesama.

Renungan untuk Kita Semua

Sebagai bagian dari masyarakat sipil dan komunitas akademik, kita tak boleh membiarkan rasa kemanusiaan kita tumpul oleh kebisingan politik atau ketakutan akan tekanan global. Kita harus terus bersuara, mendidik, dan mengadvokasi nilai-nilai keadilan. Sekecil apa pun upaya kita, ia tetap menjadi bagian dari perjuangan besar melawan ketidakadilan.

Air mata pria itu adalah air mata kita semua—air mata yang menuntut keberanian, kepedulian, dan perubahan nyata. Palestina bukan hanya urusan mereka. Palestina adalah cermin kemanusiaan kita.

Dan hari ini, sejarah mencatat: ketika banyak pemimpin dunia memilih bungkam, seorang perawat biasa justru berdiri di garis depan kemanusiaan.

No comments