Breaking News

Pagi, Nasi Goreng Padang, dan Demokrasi yang Menggigil

Oleh: Feri Fadli Rizki
Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, STISIP Banten Raya


Pagi di tanah Banten, seperti pagi di banyak sudut Nusantara, dimulai dengan kesibukan yang sederhana namun sarat makna. Aroma nasi goreng Padang mengepul dari gerobak kayu pinggir jalan. Di atas piring rotan berlapis daun pisang, sejumput nasi goreng berminyak bercampur bumbu rendang, berteman telur ceplok setengah matang, bakwan hangat, dan secangkir kopi hitam tanpa gula. Sebatang rokok kretek menyala perlahan, mengantar hangat ke dada, mengiringi mata memandang cakrawala dan hati merenungi keadaan negeri.

Di sela suapan pertama dan hirupan kopi kedua, pikiran ini melayang pada situasi politik Indonesia hari ini. Di tengah keheningan pagi, suara demokrasi terdengar parau. Ketika nasi goreng Padang masih bisa kita beli dengan uang receh, rakyat di luar sana memperdebatkan nasib bangsa yang digiring oleh elit dengan agenda masing-masing. Demokrasi kita, seperti telur ceplok di piring saya, tampak utuh tapi kuning telurnya mulai mengeras karena terlalu lama dipanaskan oleh kepentingan oligarki.

Ekonomi nasional tampak stabil di permukaan, namun rapuh di dalam. Pertumbuhan yang diklaim pemerintah tak sepenuhnya dirasakan oleh pedagang kecil di pasar, para buruh harian, atau para ojek daring yang semakin menipis penghasilannya. Sementara nasi goreng Padang masih terjangkau pagi ini, harga kebutuhan pokok terus merangkak. Keadilan sosial terasa seperti bakwan hangat: hanya sebentar renyah, lalu kembali lembek oleh kenyataan.

Penegakan hukum pun tak kalah menyedihkan. Kasus-kasus besar ditangguhkan, sementara rakyat kecil terus digulung roda hukum yang tak kenal ampun. Di negeri ini, hukum tampaknya hanya tajam ke bawah. Lantas, di mana keadilan yang dijanjikan oleh konstitusi? Apakah kita hanya berhak atas secuil harapan, sebesar remah gorengan di pinggir piring?

Kebebasan berekspresi pun kini mulai dipagari. Kritik sering dianggap makar, demonstrasi dibungkam dengan aturan, dan mahasiswa yang turun ke jalan dicap pengganggu ketertiban. Padahal, demokrasi lahir dari keberanian untuk bersuara. Tapi sekarang, kebebasan itu seperti kopi hitam tanpa gula—pahit, namun tetap harus diminum demi kesadaran.

Dan seperti rokok kretek yang terbakar pelan, idealisme negeri ini juga perlahan terkikis. Bukan karena tidak ada harapan, tapi karena harapan itu dipaksa menunggu. Menunggu pemimpin yang benar-benar memihak rakyat, bukan yang bermain di balik layar kekuasaan.

Pagi ini saya selesai sarapan, namun rasa lapar terhadap keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan masih menggantung. Sebatang rokok terakhir saya hisap dalam diam, sambil berharap, mungkin esok pagi akan datang dengan kabar yang lebih baik. Mungkin.

No comments