Tan Malaka: Bapak Republik yang Terlupakan, Pemikir Revolusioner Sepanjang Zaman
Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, STISIP Banten Raya
2 Juni: Memperingati Kelahiran Seorang Tokoh Besar
Setiap tanggal 2 Juni, bangsa Indonesia seharusnya mengheningkan cipta sejenak, mengenang kelahiran salah satu putra terbaik negeri ini: Tan Malaka. Pria kelahiran Pandan Gadang, Sumatera Barat ini, lahir pada 2 Juni 1897—meski sejumlah catatan sejarah menyebutkan masih ada ketidakpastian atas tanggal tersebut.
Namun yang pasti, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 1963, Tan Malaka ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Ia tidak hanya dikenal sebagai pejuang gerilya, namun juga sebagai filsuf, pemikir, dan tokoh yang jauh melampaui zamannya.
Ibrahim: Anak Kweekschool yang Menjadi Bapak Republik
Nama aslinya adalah Ibrahim. Tan Malaka hanyalah sebuah nama samaran, sementara gelar "Datuk" ia sandang sebagai bentuk penghormatan dari masyarakatnya. Sosok Tan Malaka tidak dapat dipisahkan dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bahkan, jauh sebelum Proklamasi 1945, ia telah menulis sebuah gagasan visioner berjudul "Menuju Republik Indonesia" pada 1925—dua dekade sebelum republik ini benar-benar berdiri.
Tak heran, Mohammad Yamin pun menjulukinya sebagai “Bapak Republik Indonesia”. Julukan ini bukan tanpa alasan. Dalam kondisi negeri yang masih terjajah, Tan Malaka telah menyuarakan kemerdekaan penuh, tanpa kompromi, tanpa tunduk pada kolonialis.
Tan Malaka: Di Balik Pena dan Senapan
Tan Malaka bukanlah sosok politisi salon. Ia adalah aktivis jalanan, pengajar anak-anak buruh, penyusun strategi revolusi, dan penulis buku-buku berat dengan ide-ide yang tajam.
Lulusan Kweekschool Bukittinggi ini sempat melanjutkan studi ke Belanda berkat bantuan dana masyarakat kampungnya dan gurunya. Namun, cita-citanya menjadi kepala sekolah kandas karena sakit. Meski hanya mengantongi ijazah guru biasa, Tan Malaka menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mendidik kaum buruh dan memperjuangkan keadilan sosial.
Perjalanannya berpindah-pindah dari Deli, Semarang, Filipina, Hong Kong, Shanghai, hingga Rusia memperlihatkan sosok yang benar-benar hidup dalam pengasingan dan pelarian. Ia menyamar dengan berbagai nama: Ilyas Husein, Alisio Rivera, Ossorio, hingga Ong Soong Lee. Hidupnya menjadi contoh ekstrem dari apa yang disebut dengan konsistensi terhadap idealisme.
Madilog dan Warisan Intelektual yang Abadi
Salah satu karya monumentalnya adalah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika), sebuah buku filsafat yang mengajak bangsa ini keluar dari “logika mistika”—suatu bentuk pemikiran yang menurut Tan Malaka menghambat kemajuan. Dalam Madilog, ia mengajak bangsa ini untuk berpikir rasional, ilmiah, dan progresif.
Selain Madilog, Tan Malaka juga menulis karya-karya penting lain seperti Aksi Massa, Gerpolek, Menuju Merdeka 100%, hingga autobiografinya Dari Penjara ke Penjara. Buku-buku tersebut tidak sekadar menjadi catatan sejarah, namun juga peta jalan menuju kesadaran nasional yang lebih kritis dan berdaulat.
Tragedi dan Pengkhianatan Bangsa
Ironi sejarah mencatat bahwa Tan Malaka, yang begitu berjasa, justru tewas di tangan bangsanya sendiri. Ia ditembak mati oleh pasukan militer Indonesia pada 21 Februari 1949 di Selopanggung, Kediri, tanpa proses pengadilan. Tuduhan bahwa ia hendak mengkudeta Soekarno-Hatta masih menjadi perdebatan hingga hari ini.
Tan Malaka mengorbankan hidupnya demi cita-cita kemerdekaan sejati. Sayangnya, cita-cita itu harus dibayar mahal: ia mati dalam sunyi, dikubur tanpa nisan, dan namanya nyaris dilupakan dalam wacana publik modern.
Cinta yang Dipinggirkan Sejarah
Di balik sosok revolusionernya, Tan Malaka juga manusia biasa yang pernah jatuh cinta. Hubungannya dengan Syarifah Nawawi, gadis Minangkabau yang menjadi teman sekelasnya di Kweekschool, menjadi kisah cinta yang terpaksa dikorbankan demi tanggung jawab adat dan perjuangan.
Ia memilih menerima gelar Datuk daripada menikahi Syarifah. Keputusan ini menunjukkan bahwa bahkan cinta pun harus ia relakan demi perjuangan kolektif. Hidupnya dilalui dalam kesendirian, tanpa istri, tanpa anak, tapi penuh dengan pengabdian.
Refleksi Hari Ini: Sudahkah Kita Membaca Tan Malaka?
Kini, di era digital yang serba instan, pemikiran Tan Malaka seringkali terasa berat bagi sebagian besar generasi muda. Padahal, justru pemikiran dialektis dan logis seperti yang ia tawarkan adalah kunci untuk membangun bangsa yang kuat secara intelektual dan merdeka secara politik.
Membaca Tan Malaka hari ini bukan hanya upaya mengenang sejarah, tapi juga membangun kesadaran baru tentang apa itu kebebasan, kedaulatan, dan keadilan sosial. Buku-bukunya tak hanya relevan di masa penjajahan, tetapi juga menjadi cermin atas tantangan zaman yang masih terus mengancam kemerdekaan bangsa ini dalam bentuk yang lebih halus: kapitalisme, imperialisme budaya, dan ketundukan pada kekuasaan modal.
Penutup
Tan Malaka telah “terbentur, terbentur, terbentur, dan terbentuk.” Kini, saat kita menikmati kemerdekaan, sudah sepantasnya kita bertanya pada diri sendiri: apa yang telah kita lakukan untuk mempertahankan dan mewujudkan kemerdekaan yang sejati?
Memperingati hari lahir Tan Malaka bukan sekadar seremoni. Ia harus menjadi momen refleksi kolektif atas cita-cita yang belum selesai. Dan melalui karya-karyanya, Tan Malaka seolah berkata: "Jangan berhenti berpikir, karena berpikir adalah awal dari merdeka."
Feri Fadli Rizki
Dosen Ilmu Pemerintahan
STISIP Banten Raya
Catatan: Artikel ini ditulis dalam rangka memperingati Hari Lahir Tan Malaka, 2 Juni 1897, sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa dan pemikirannya yang belum seutuhnya dipahami bangsa ini.
No comments