Mahasiswa Merangkap Driver Online di Pandeglang: "Kami Bukan Karyawan, Tapi Kerja Penuh Waktu"
Laporan oleh: Dede Adriana | Banten Medsos
Pandeglang, Banten – Di tengah dinamika ekonomi dan perkembangan teknologi digital, sejumlah mahasiswa di Kabupaten Pandeglang memilih menjadi driver online sebagai bentuk adaptasi terhadap kebutuhan hidup. Dua di antaranya adalah Zaen (20) dan Yusril (24), mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan di STISIP Banten Raya, yang menjalani peran ganda sebagai pengemudi ojek online.
Dalam wawancara dengan Banten Medsos, mereka mengungkapkan alasan utama memilih pekerjaan ini adalah fleksibilitas waktu. “Sebagai mahasiswa, kerja begini bisa atur waktu. Kuliah tetap jalan, penghasilan juga dapet,” ujar Zaen.
Namun di balik fleksibilitas tersebut, ada realita ekonomi yang tak stabil. Pendapatan mereka fluktuatif, berkisar antara Rp100 ribu hingga Rp350 ribu per hari. Setelah dipotong untuk kebutuhan operasional seperti bahan bakar dan perawatan kendaraan, Zaen dan Yusril hanya mengantongi penghasilan bersih sekitar Rp70 ribu per hari.
Yang menjadi sorotan, kata mereka, adalah ketergantungan terhadap sistem bonus dan insentif dari aplikasi. "Kami ini mitra, bukan karyawan. Tapi perusahaan bisa potong insentif, ubah skema, bahkan putus mitra secara sepihak. Nggak ada negosiasi, nggak pernah diajak diskusi,” keluh Yusril.
Mereka merasa berada dalam posisi lemah dalam hubungan kerja yang berjalan satu arah. Menurut mereka, suspend dan pemutusan kemitraan seringkali terjadi tanpa kejelasan. “Kalau ada yang kena suspend tanpa alasan jelas, kami bantu advokasi ke kantor,” ujar Zaen.
Sebagai bentuk perlawanan dan strategi bertahan, komunitas driver lokal membangun solidaritas. Mereka biasa berkumpul (nge-tem) di titik-titik ramai order, berbagi informasi lewat grup WhatsApp, serta membentuk koperasi untuk bantuan sosial sesama driver. Tak jarang, aksi protes dan mogok dilakukan jika ada kebijakan sepihak dari pihak aplikasi.
Namun yang paling mereka sayangkan adalah kurangnya regulasi dari negara. “Negara belum hadir secara signifikan. Jaminan sosial, upah minimum, perlindungan dari pemutusan sepihak itu belum jelas. Padahal kami kerja full time. Tapi kalau sakit, nggak ada yang nanggung,” pungkas Yusril.
Fenomena ini menunjukkan adanya celah regulasi dan perlindungan terhadap para pekerja platform digital yang jumlahnya terus meningkat. Di tengah ketiadaan status ketenagakerjaan yang jelas, para driver seperti Zaen dan Yusril terus berjuang untuk bertahan hidup—dengan solidaritas sebagai senjata utama mereka.
No comments