Breaking News

Opini : Ummat Islam dan Mentalitas Outsider.

Ummat Islam dan Mentalitas Outsider: Hegemoni Sosial tetapi Marginal dalam Struktural Kekuasaan

Oleh : Saad Muchtar 
BantenMedsosNews - Saya berkali kali merenungkan tema ini, tema yang kerap kali saya ikutkan dalam setiap diskusi di warkop maupun tempat yang lain bersama teman dan tokoh tokoh ummat, tema yang berkali kali saya dengar dari guru saya Anis Matta, kok bisa ummat sebesar ini hanya menjadi "objek kekuasaan?". Serang (05/09/2025).

Fenomena di mana umat Islam yang mayoritas sering kali terpinggir dalam posisi strategis pemerintahan merupakan paradoks politik yang kompleks. Mentalitas outsider dalam konteks ini bukan sekadar soal keterlibatan dan eksistensi ummat dipanggung politik, namun juga tentang mentalitas internal eksternal ummat yang membentuk perilaku kolektif dan struktural umat Islam.
Pada awal kemerdekaan, umat yang memperjuangkan kemerdekaan justru kurang mendapat ruang dalam kekuasaan. Bahkan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya yang semula termuat dalam Piagam Jakarta dihapuskan dari Pancasila, tetapi ummat tetap legowo 

Pada era Orde Baru, umat Islam didorong untuk tidak memasuki politik secara formal. Slogan dari Nurcholish Madjid, “Islam Yes, Islamic Party No”, membentuk mentalitas di mana Islam dipisahkan dari praktik politik praktis demi menjaga kemurnian. Serupa halnya, organisasi semacam ICMI yang diinisiasi oleh Habibie lebih diposisikan sebagai elit intelektual religius daripada basis massa, dan kerap dilihat sebagai alat rezim alih-alih representasi umat .

Setelah 1998, kebebasan politik meningkat namun umat Islam tetap tidak monolit dalam gerakan politiknya. Elit religius terpecah antara yang menjauhi politik (menghindari “korupsi ideologis”) dan yang menikmati pengaruh strategis melalui partai atau lembaga agama negara . Fragmentasi lebih lanjut terlihat dari perbedaan nilai antara kelompok moderat NU-Muhammadiyah dan modernis atau Salafi, serta benturan kultur lokal vs Islam “asing” yang memperuncing polarisasi internal ummat.

Politik yang dikaitkan dengan Islam seringkali dicurigai oleh publik maupun elit sekuler. Hal ini membuat banyak ulama memilih menjadi pendakwah moral ketimbang aktor kekuasaan formal .

Banyak elit religius percaya bahwa politik “memoralkan” mereka, sehingga lebih nyaman dalam ranah dakwah atau pendidikan daripada masuk dalam pemerintahan. Ini memperkuat posisi outsider meski sebagai “suara moral” mereka tetap kuat.

Mentalitas outsider umat Islam di Indonesia adalah hasil kombinasi kompleks antara rekam sejarah, politik identitas, fragmentasi internal, dan persepsi publik terhadap politik religius. Untuk menjadi stakeholder strategis, umat Islam perlu membangun narasi politik yang inklusif, dan adaptif tanpa mengorbankan integritas nilai. Konsolidasi internal, pendidikan politik, dan keterlibatan dalam kebijakan publik pragmatis adalah kunci untuk menjadi subjek kekuasaan, bukan hanya penonton moral dan objek kekuasaan saja.
Saad Mochtar
Madinah, 05 September 2025

No comments