Breaking News

Merayakan Kemerdekaan di Era Pop Culture: Kontroversi Bendera One Piece dan Refleksi bagi Bangsa

Oleh: Feri Fadli Rizki, Dosen Ilmu Pemerintahan STISIP Banten Raya

Menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 pada 17 Agustus 2025, jagat maya dan dunia nyata diramaikan oleh fenomena tak biasa: maraknya pengibaran bendera bajak laut "One Piece", lengkap dengan lambang tengkorak dan topi jerami yang ikonik. Fenomena ini terjadi serentak di berbagai kota, dari rumah warga hingga kendaraan, dan diikuti oleh ribuan akun media sosial yang mengganti foto profil mereka dengan simbol kru Topi Jerami.

Apa yang sebenarnya ingin disuarakan masyarakat melalui simbol dari anime ini? Dan bagaimana seharusnya negara menyikapi tren budaya pop yang kini bertransformasi menjadi medium ekspresi politik dan sosial?

Bendera One Piece: Simbol Perlawanan dalam Balutan Pop Culture

Jolly Roger—bendera bajak laut dalam anime One Piece—bukanlah sekadar simbol kekerasan. Dalam narasi fiksi Eiichiro Oda, bendera ini justru melambangkan kebebasan, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Luffy dan kru Topi Jerami memperjuangkan impian serta menentang rezim otoriter yang menyalahgunakan kekuasaan.

Bagi sebagian masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, bendera ini kini menjadi ekspresi sosial atas kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah dan stagnasi dalam pemenuhan janji-janji kemerdekaan. Mereka mengibarkannya bukan untuk menggantikan Merah Putih, tetapi sebagai kritik damai, sebagai penanda bahwa kemerdekaan sejati belum sepenuhnya dirasakan.

Respons Pejabat Negara: Di Antara Kekhawatiran dan Ajakan Persatuan

Fenomena ini tak luput dari perhatian para pejabat tinggi negara. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, dan Menko Polhukam, Budi Gunawan, menyuarakan kekhawatiran bahwa tren ini dapat memecah belah bangsa, bahkan mencurigainya sebagai bentuk provokasi. Pemerintah mengingatkan masyarakat tentang konsekuensi hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009, yang melarang pengibaran bendera selain Merah Putih di atas tiang secara formal.

Namun, pendekatan yang terlalu represif dapat berisiko mengabaikan substansi dari ekspresi ini. Banyak suara dari masyarakat sipil dan akademisi yang menilai bahwa simbol ini bukanlah bentuk makar, melainkan cerminan keresahan rakyat yang perlu didengar dan ditanggapi dengan bijak.

Pendapat Pakar Hukum: Antara Legalitas dan Kebebasan Ekspresi

Beragam pendapat pakar hukum memperkaya diskusi ini: 

Abdul Fickar Hadjar (Universitas Trisakti) menegaskan bahwa pengibaran bendera One Piece secara hukum adalah legal. Ia menyebut tidak ada satu pun aturan yang melarangnya, selama tidak melecehkan simbol negara. “Ini bagian dari kebebasan berekspresi masyarakat dalam negara demokratis,” tegasnya.

Gugun El Guyanie (UIN Kalijaga Yogyakarta) melihat ini sebagai wujud nasionalisme kritis. Ia menyatakan bahwa rakyat memiliki cara kultural tersendiri untuk mengekspresikan kekecewaan terhadap negara. “Simbol bajak laut ini bukan sekadar hiburan, tapi juga bisa jadi sarana artikulasi politik dan sosial.”

Rico Noviantoro, pengamat kebijakan publik, mengingatkan perlunya kehati-hatian. Menurutnya, jika bendera fiksi dikibarkan sejajar atau lebih tinggi dari Merah Putih, maka ada potensi pelanggaran terhadap aturan. Namun, ia pun menambahkan bahwa tindakan ini tetap harus dipahami sebagai kritik sosial, bukan kejahatan serius.

Dengan demikian, para pakar hukum dan pengamat menyoroti dua hal penting: menjaga kehormatan simbol negara dan tetap membuka ruang ekspresi publik secara proporsional.

Refleksi Kemerdekaan: Menanggapi Kritik dengan Empati

Fenomena pengibaran bendera One Piece bukan hanya tentang anime atau budaya pop. Ini adalah refleksi dari bagaimana sebagian masyarakat memaknai kemerdekaan di era digital. Mereka berbicara lewat simbol yang mereka pahami, yang mewakili nilai kebebasan, keadilan, dan keberanian menantang ketidakadilan—persis seperti nilai yang seharusnya diusung negara merdeka.

Jika pemerintah menanggapinya dengan stigmatisasi dan kriminalisasi, maka negara bisa tampak anti-kritik dan jauh dari semangat demokrasi. Sebaliknya, dengan dialog dan edukasi, negara bisa menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi dan memperkuat ikatan sosial antarwarga.

Penutup: Simbol dan Substansi

Kemerdekaan bukan hanya soal seremoni, parade, dan upacara. Ia hidup dalam ruang ekspresi yang terbuka dan toleran terhadap kritik. Merah Putih tetap satu-satunya simbol nasional yang wajib dijunjung, namun simbol-simbol lain—seperti bendera One Piece—dapat menjadi pemantik refleksi: sudahkah bangsa ini benar-benar merdeka dalam arti keadilan sosial, pemerintahan yang bersih, dan keterbukaan politik?

Alih-alih menyikapi fenomena ini dengan ketakutan, mari jadikan momen ini sebagai pengingat bahwa kemerdekaan juga berarti mendengarkan. Mendengarkan keresahan rakyat, meski lewat simbol yang tak lazim.

Selamat Hari Kemerdekaan ke-80. Semoga bangsa ini semakin matang dalam menyikapi suara rakyatnya—tak hanya di jalanan, tetapi juga di layar-layar budaya pop.

No comments