Foto Itu Membeku Di Tengah Sejarah.
Serang, BantenMedsosNews - Foto itu membeku di tengah sejarah, refleksi perjalanan panjang sebuah Bangsa dengan cita-cita kemerdekaan dari belenggu Penjajahan, merdeka dari tekanan, intimidasi, kebodohan, dan kemiskinan. Senin (25/08/2025).
Agus Salim dengan janggut panjang dan mata tajam yang menusuk logika kolonial, Sutan Sjahrir yang wajahnya tampak lelah tetapi bening penuh idealisme, Mohammad Roem dengan kacamata bulat yang menatap penuh kalkulasi, Johannes Leimena dengan sikap akademis, dan Ali Sastroamidjojo yang kelak memimpin kabinet.
Mereka bukan sekadar pria berjas dan berdasi. Mereka adalah benteng pikiran sebuah republik muda yang miskin senjata tapi kaya strategi. Dengan bahasa diplomasi, mereka mengubah meja perundingan menjadi medan perang yang menentukan nasib bangsa. Mereka melawan bukan dengan meriam, tapi dengan logika, moral, dan kecerdasan yang membuat Belanda kehabisan dalih.
Bandingkan dengan hari ini. Di Senayan, para “diplomat politik” lebih sibuk memperebutkan kursi ketimbang mengamankan kursi kedaulatan bangsa. Jika Agus Salim menggunakan satire untuk mempermalukan kolonial, kini satire justru dipakai pejabat untuk menutupi kebodohan sendiri. Jika Sjahrir menghabiskan malam untuk menulis argumentasi, hari ini banyak pejabat menghabiskan malam untuk lobi proyek dan selfie di hotel bintang lima.
Foto itu bukan sekadar potret masa lalu. Ia adalah cermin pahit: bahwa negeri ini pernah punya elit yang memikirkan rakyat jauh melampaui kepentingan pribadi. Mereka miskin harta, tapi kaya visi. Mereka bukan pedagang jabatan, melainkan pedagang ide.
Pertanyaannya:
Apakah hari ini kita masih punya Agus Salim yang berani menyindir dengan otak tajam?
Apakah masih ada Sjahrir yang rela mati muda demi idealisme?
Ataukah kita hanya punya politisi yang pandai mencuri perhatian, tapi gagal mencuri keadilan untuk rakyat?
Sejarah tidak pernah berhenti, tapi bangsa ini seringkali memilih berjalan mundur.
Photo ( H. Agus Salim (paling kanan). Sutan Sjahrir (duduk tengah depan). Mohammad Roem (paling kiri). Dr. Johannes Leimena (belakang kiri). Ali Sastroamidjojo (belakang kanan) / Konferensi Meja Bundar (KMB), Den Haag 1949.
Sumber : Dari DDB
No comments