Propaganda Israel Tak Lagi Diterima Dunia
Oleh: Feri Fadli Rizki, Dosen Ilmu Pemerintahan STISIP Banten Raya
BANTEN MEDSOS — Selama puluhan tahun, Israel dan para pendukung kuatnya, terutama di Barat, terus menggunakan berbagai strategi framing untuk menggambarkan Palestina sebagai pihak radikal, tidak rasional, bahkan teroris. Namun kini, seiring dengan berkembangnya media sosial, meningkatnya kesadaran global, serta munculnya generasi muda yang lebih kritis dan berani, framing tersebut perlahan mulai runtuh. Dunia tidak lagi memandang konflik Palestina semata-mata dari kacamata propaganda Israel.
Narasi yang selama ini dijaga dengan ketat oleh jaringan media arus utama yang cenderung pro-Israel sudah mulai kehilangan pamornya. Di tengah derasnya arus informasi digital, publik global kini bisa melihat sendiri penderitaan warga Gaza, kekerasan struktural yang dilakukan oleh militer Israel, hingga bentuk penjajahan modern yang terus berlangsung atas tanah Palestina.
Tidak sedikit aktivis internasional, selebriti, jurnalis independen, dan bahkan politisi muda di negara-negara Barat yang mulai lantang menyuarakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina. Mereka tidak lagi terikat pada narasi lama yang menyamakan kritik terhadap Israel dengan antisemitisme. Hal ini menunjukkan bahwa taktik intimidatif yang selama ini digunakan untuk membungkam kritik, tidak lagi ampuh.
Framing Israel dan para pendukungnya selama ini dibangun atas tiga pilar utama: pertama, menampilkan Israel sebagai negara demokrasi satu-satunya di Timur Tengah; kedua, menggambarkan Palestina sebagai ancaman keamanan; dan ketiga, menjadikan konflik sebagai isu agama semata. Ketiganya kini mulai goyah. Israel kini lebih banyak disorot sebagai negara apartheid modern, terutama setelah laporan berbagai lembaga HAM internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch yang menyoroti kebijakan diskriminatif terhadap warga Palestina.
Sementara itu, di sisi lain, perjuangan Palestina kini lebih luas dipahami sebagai perjuangan antikolonialisme dan pembebasan. Dukungan datang tidak hanya dari negara-negara mayoritas Muslim, tapi juga dari kalangan Kristen, Yahudi progresif, sekuler, hingga kelompok masyarakat adat yang melihat kesamaan nasib dalam penjajahan dan perampasan tanah.
Di Indonesia sendiri, dukungan terhadap Palestina sangat kuat. Namun lebih dari itu, masyarakat Indonesia kini semakin melek akan bagaimana media bisa memanipulasi narasi. Media sosial telah menjadi alat penting untuk melawan propaganda. Masyarakat tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen narasi yang mampu membongkar kebohongan dan ketimpangan informasi global.
Framing lama tidak lagi berpengaruh karena kepercayaan publik terhadap media arus utama semakin menurun. Kebenaran tidak lagi bergantung pada satu pihak yang dominan secara geopolitik atau ekonomi. Kebenaran kini bersifat kolektif, dibangun dari banyak suara, banyak kesaksian, dan banyak bukti di lapangan yang tidak bisa disembunyikan.
Konflik Palestina bukan hanya soal batas wilayah. Ia adalah simbol perlawanan terhadap penindasan, penjajahan, dan ketidakadilan global. Dan dunia mulai sadar: framing tidak bisa terus menutup kenyataan.
No comments