Pandeglang, Banten Medsos — Sapid (56), seorang petani asal Kampung Barengkok, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten, mengungkapkan berbagai tantangan yang dihadapinya selama puluhan tahun mengelola lahan pertanian. Kepada Banten Medsos, ia bercerita bahwa dirinya sudah menekuni profesi sebagai petani sejak muda, mengikuti jejak orang tuanya.

"Sudah 30 tahun saya bertani, dari awal ikut orang tua, sekarang ngelola sendiri. Biasanya tanam padi dan timun, kadang kalau kemarau tanam juga, tapi tergantung air," ujar Sapid.

Menurutnya, bertani saat ini jauh lebih berat dibandingkan masa lalu. Salah satu kendala utama adalah tingginya harga pupuk dan tidak menentunya harga jual hasil panen. Selain itu, ketersediaan air juga menjadi tantangan tersendiri saat musim kemarau tiba.

"Pupuk sekarang mahal, air juga susah kalau kemarau. Terus pas panen, harga enggak tentu. Kita jual ke pengepul, tapi mereka yang tentukan harga. Kadang enggak nutup sama biaya produksi," ungkapnya.

Meski begitu, Sapid tetap bertahan di dunia pertanian karena tidak ada pilihan pekerjaan lain. Ia menilai bahwa kehidupan di kampung masih bisa dijalani asalkan rajin bekerja. Namun, ia mengakui bahwa kondisi ekonomi saat ini membuat semuanya menjadi lebih sulit.

"Hidup di sini cukup-cukup saja asal rajin. Tapi sekarang terasa berat, kebutuhan makin naik, sementara hasil tani tidak sebanding," tambahnya.

Keluhan Sapid mencerminkan realitas yang dihadapi banyak petani di wilayah pedesaan. Minimnya kepastian harga dan mahalnya biaya produksi menjadi tantangan besar yang memerlukan perhatian lebih dari pemerintah dan stakeholder pertanian.

Laporan: Siti Yuli Yanti
Editor: Fariz