Breaking News

Jokowi-Gibran dalam Sebuah Perspektif


Oleh: Rio Wijayakusuma, SH – Pemerhati Hukum dan Politik

Dorongan publik agar Mahkamah Konstitusi mencopot Gibran Rakabuming Raka dari posisinya sebagai Wakil Presiden terpilih terus bergulir. Banyak yang menilai bahwa Gibran tidak memenuhi standar kepemimpinan, dan proses pencalonannya sarat dengan rekayasa hukum yang mencederai etika demokrasi. Tak kalah panas, Presiden Joko Widodo juga menghadapi isu sensitif: tudingan penggunaan ijazah palsu yang menyerang legitimasi moralnya sebagai pemimpin nasional.

Namun di tengah badai kritik tersebut, saya ingin mengajak pembaca melihat dari sudut pandang yang lebih strategis dalam peta politik kekuasaan saat ini. Terlepas dari semua kontroversi dan ketidakidealan, kehadiran Jokowi dan Gibran justru masih relevan dalam menjaga keseimbangan kekuatan nasional—bukan karena mereka menjunjung demokrasi substansial, tetapi karena posisi mereka dapat menjadi semacam "batu sandungan" terhadap konsolidasi kekuasaan yang terlalu militeristik.

Kita tentu memahami latar belakang Presiden Prabowo Subianto: seorang mantan jenderal dengan kekuatan jaringan militer dan loyalis sipil yang sangat kuat. Di tangan yang keliru, kekuatan seperti itu bisa menggiring arah pemerintahan menjadi lebih komando-sentris, lebih otoritatif, dan lebih terpusat. Demokrasi yang selama ini diperjuangkan—meskipun belum sempurna—bisa tereduksi menjadi sekadar formalitas prosedural.

Di sinilah peran Jokowi dan Gibran menjadi penting secara taktis. Dengan segala kelemahan dan catatan negatifnya, keberadaan mereka dalam struktur kekuasaan nasional dapat dimanfaatkan sebagai penyeimbang, bahkan sebagai penghambat terhadap potensi dominasi satu kekuatan tunggal. Bukan sebagai pahlawan demokrasi, tetapi sebagai bagian dari realitas politik yang perlu dimitigasi.

Tentu ini bukan pembelaan atas segala pelanggaran etika atau prosedur hukum yang mereka lakukan. Kritik tetap harus disuarakan, dan pertanggungjawaban tetap harus ditegakkan. Namun, dalam dunia politik yang tidak pernah hitam putih, kadang yang kita butuhkan bukan hanya pemimpin ideal, tetapi juga variabel-variabel yang bisa menjaga peta kekuasaan tetap cair dan tidak jatuh ke tangan segelintir elit dengan agenda tunggal.

Dengan demikian, menjaga keberagaman kekuatan dalam pemerintahan adalah bagian dari menjaga demokrasi itu sendiri. Jika seluruh panggung dikuasai oleh satu kekuatan dominan, maka demokrasi akan menjadi panggung kosong yang hanya dipenuhi simbol, bukan substansi.

No comments