Breaking News

Bangkit dalam Keprihatinan: Refleksi Hari Kebangkitan Nasional di Tengah Krisis Sosial-Ekonomi dan Demokrasi



Oleh: Feri Fadli Rizki

Dosen Ilmu Pemerintahan, STISIP Banten Raya

Tanggal 20 Mei, setiap tahunnya, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Sebuah momentum sejarah yang mengingatkan kita pada awal kesadaran kolektif bangsa Indonesia untuk bersatu, melawan ketertinggalan, dan membangun kedaulatan. Namun, di tahun ini, peringatan itu terasa getir. Di balik semangat yang semestinya membara, realitas sosial, ekonomi, dan politik kita justru mencerminkan berbagai kemunduran.

Kita tengah hidup di masa yang sulit. Kesulitan ekonomi melanda masyarakat bawah: harga kebutuhan pokok terus merangkak naik, lapangan pekerjaan semakin sempit, sementara akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan masih timpang. Ketimpangan ini diperparah oleh maraknya korupsi dan pungutan liar yang terjadi bahkan di sektor-sektor pelayanan publik yang seharusnya menjadi garda depan kesejahteraan rakyat.

Ironisnya, penegakan hukum pun seakan kehilangan taji. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas masih menjadi adagium pahit yang kita saksikan dari waktu ke waktu. Kasus-kasus besar korupsi sering kali tak berujung pada keadilan substantif. Hal ini menambah subur ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara. Masyarakat semakin skeptis, bukan karena mereka apatis, melainkan karena mereka lelah dikecewakan.

Pendidikan, sebagai fondasi kebangkitan bangsa, masih menghadapi tantangan besar: akses yang tidak merata, kualitas yang belum merata, serta mahalnya biaya pendidikan tinggi. Di sisi lain, demokrasi kita menghadapi ancaman serius dari pragmatisme politik, penyalahgunaan kekuasaan, hingga pembungkaman suara-suara kritis. Hak asasi manusia (HAM) sering kali terabaikan, khususnya dalam penanganan isu-isu minoritas, konflik agraria, dan kebebasan berekspresi.

Keadilan sosial—sebagaimana termaktub dalam sila kelima Pancasila—masih jauh dari kenyataan. Kesenjangan antarwilayah, ketidaksetaraan gender, serta diskriminasi berbasis status sosial dan ekonomi memperlihatkan bahwa agenda kebangsaan belum sepenuhnya berpihak pada rakyat kecil. Padahal, inti dari kebangkitan nasional adalah membangun bangsa yang merdeka secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Sebagai negara berdaulat, Indonesia seharusnya mampu menunjukkan kapasitasnya dalam melindungi segenap warga negara dan menjamin keadilan bagi seluruh rakyatnya. Kedaulatan bukan hanya perkara politik luar negeri, tetapi juga bagaimana negara bersikap terhadap rakyatnya sendiri—dengan adil, jujur, dan berpihak pada kebenaran.

Hari Kebangkitan Nasional bukan sekadar seremoni atau nostalgia sejarah. Ia adalah panggilan moral bagi seluruh elemen bangsa: pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, hingga pemuda. Kita harus bangkit bukan hanya dari keterjajahan fisik, tapi juga dari keterpurukan nilai, mentalitas, dan tata kelola bernegara.

Sudah saatnya kita menyalakan kembali api kebangkitan itu. Dengan memperjuangkan keadilan sosial, menegakkan supremasi hukum, memperkuat demokrasi yang inklusif, dan menghapus praktik korupsi serta pungutan liar. Inilah esensi dari kebangkitan yang sesungguhnya: kebangkitan menuju Indonesia yang lebih adil, bermartabat, dan berdaulat.

No comments