Warteg Masih Jadi Primadona Bisnis Kuliner Rakyat di Banten
Lebak, Banten Medsos — Bisnis Warung Tegal (warteg) terus menunjukkan geliatnya sebagai salah satu tulang punggung kuliner rakyat di wilayah Jabodetabek dan Banten. Menyediakan makanan rumahan dengan harga terjangkau, warteg tetap menjadi pilihan utama para pekerja dan mahasiswa, terutama di tengah mahalnya harga makanan siap saji dan menjamurnya makanan berbasis aplikasi daring.
Di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, warteg bahkan menjadi bagian dari dinamika sosial dan ekonomi masyarakat. Salah satunya adalah Warteg Bu Eneng, milik Umah Komariah (52), warga asli Lebak yang telah menekuni usaha ini sejak 2010. Bertempat di Jalan Raya Kadu Agung–Cileles, Bojong Leles, Kecamatan Cibadak, warteg milik Bu Umah buka setiap hari dari pukul 06.00 hingga 21.00 WIB.
“Awalnya cuma warung jajan biasa, alhamdulillah sedikit demi sedikit bisa bangun ruko dan punya warteg sendiri,” kata Bu Umah saat ditemui Banten Medsos, Selasa (21/5).
Menu yang disediakan pun beragam dan menggugah selera: nasi, orek tempe, telur balado, ayam kecap, ikan goreng, oseng kangkung, hingga sayur asem. Semua disajikan secara prasmanan dengan harga ramah kantong, mulai dari Rp10.000 hingga Rp20.000, tergantung pilihan lauk.
Namun, di balik geliat bisnis warteg, tersimpan sejumlah tantangan. Sebagian besar warteg beroperasi secara informal, menyewa ruko kecil atau bahkan berdiri di lahan semi legal yang rawan penggusuran. Tak sedikit pula yang harus berhadapan dengan retribusi liar serta minimnya perlindungan hukum dari pemerintah daerah.
Selain itu, kemunculan warteg franchise dan maraknya layanan makanan online juga menjadi tantangan tersendiri bagi warteg tradisional.
“Sekarang banyak warteg modern dan makanan online, tapi alhamdulillah karena jujur dan masakan enak, pelanggan tetap banyak,” ujar Bu Umah.
Pelanggan setia seperti Saripudin (40), seorang karyawan swasta yang rutin makan siang di Warteg Bu Eneng sejak 2018, mengaku puas dengan porsi dan rasa makanannya.
“Porsinya pas, rasanya cocok di lidah saya, harganya juga bersahabat,” katanya.
Hal senada disampaikan Bu Wiwi, seorang guru yang hampir tiap hari makan di warung ini saat jam istirahat.
“Dengan Rp15.000, saya bisa makan enak dan lauknya bisa pilih sendiri,” ujarnya.
Meski kerap dipandang sebagai bisnis kelas bawah, warteg sejatinya mempresentasikan nilai-nilai sosial para perantau, termasuk di Lebak, Banten. Dari dapur kecil di pinggir jalan, bisnis ini menghidupi keluarga, menyekolahkan anak, dan menghadirkan cita rasa kampung halaman dalam tiap suapannya. (Hayati/Fad)
No comments